“Nasib bukan untuk untuk di sesali akan tetapi untuk di siasati sebagaimana kita menyiasati kehidupan ini agar segala sesuatunya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan…!”
Seuntai kalimat yang membuatku sedikit tersenyum manis, meski kepala ini rasanya berat betul mengotak-ngatik matrik ordo 4 yang tak jua ada ujung pangkalnya. Bukan mengeluh karena masih dalam tahap pembelajaran dan belum bisa menyelesaikan soal-soal analisa numerik yang membuat rambut di kepala dan kelopak mata ini agak sedikit tebal dan menghitam, akan tetapi semata-mata hanya sekedar ingin berbagi bahwasanya untuk mencapai sebuah tujuan mulia terkadang proses yang harus dilalui terasa berat dan berliku. Mungkin sudah suratan takdir harus kembali bergelut dengan ilmu matematika dan segala macam tetek bengek rumus-rumus fisika yang bila dijabarkan mungkin satu buah buku pun belum bisa mewakilinya.
Jika waktu bisa berulang dan sekali lagi jika saja waktu bisa di putar kembali ketika dahulu akan lulus sekolah menengah pertama, alangkah lebih baiknya jika meneruskan ke bangku SMU bukan ke SMK. Akan tetapi karena perasaan dan ego anak muda yang sedang dalam masa pencarian jati diri serta ditambah pula nihilnya sang pembimbing sehingga memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di bangku SMK. Barangkali itulah titik kesalahan dalam hidupku yang terbesar, dan bisa di bayangkan efeknya seperti bola salju yang terus menggunung sampai kini. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika di SMK atau dahulu STM, sekolah adalah satu hal yang paling membuat keringat dingin. Dengan hanya bermodalkan 1 buah buku yang terlipat di kantong, nekat masuk ke dalam kelas. Bisa di bayangkan dengan cara seperti itu apakah pelajaran akan berbekas di kepala ?
Untuk bisa lulus saja sudah sangat beruntung, apalagi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mungkin hanya sebuah angan-angan saja. Akan tetapi begitulah adanya, selepas lulus STM malah nekat melanjutkan kuliah teknik mesin karena ingin menjadi seorang insinyur. Mungkin dalam pemikiran saat itu kuliah teknik mesin akan sama seperti di STM dahulu. Rambut bisa gondrong, celana robek dan ditambah tahun 1998 adalah masa reformasi sehingga menjadi seorang mahasiswa bagaikan menjadi seorang dewa yang sangat di hormati.
Nonsense… setelah masuk kampus ternyata apa yang dibayangkan selama STM ternyata jauh dari perkiraan. Memang rambut bisa gondrong sampai pantat dan celana robek-robek, akan tetapi hampir semua mata kuliahnya berdasarkan pada matematika dan fisika yang dahulu sangat-sangat ku benci. Alhasil, bisa lulus tepat waktu dan dengan predikat pujian saja sudah sangat beruntung meski harus rela diet ketat saat berat badan menurun drastis di akhir kuliah hanya karena mengejar sidang sarjana dan perbaikan skripsi.
Kini dengan hanya berbekal nekat dan sedikit tabungan kembali harus berkutat dengan puluhan persamaan dan rumus sesatan yang kadang membuat sesat diriku sendiri ketika mengutak-ngatiknya di atas kertas. Tapi semuanya adalah proses yang mesti di lewati seperti kata kalimat “Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada mahluknya melebihi kadar ketakwaanya..”. Semoga saja ini hanya opiniku saja di sela rasa kekecewaan mengerjakan tugas yang tak kunjung selesai. Akan tetapi adalah sebuah hal yang sangat bijak apabila nanti anak, kerabat atau bahkan teman-teman yang ingin melanjutkan pendidikan untuk setidaknya berkonsultasi dengan orang yang berpengalaman sehingga kasus sepertiku tidak terulang pada kalian.